Rabu, 20 Mei 2015

Pendekatan Saintifik


BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Dewasa ini telah dilakukan berbagai upaya perbaikan dan peningkatan mutu pembelajaran di SD. Kurikulum 2013 menggunakan modus pembelajaran langsung ( direct instructional ) dan tidak langsung ( indirect instructional ). Kondisi pembelajaran yang diharapkan tercipta diarahkan untuk mendorong peserta didik dalam mencari tahu dari berbagai sumber observasi, bukan diberi tahu. Kondisi pembelajaran pada saat ini juga diharapkan diarahkan agar peserta didik mampu merumuskan masalah (dengan banyak menanya), bukan hanya menyelesaikan masalah dengan menjawab saja.
Untuk memaksimalkan proses pembelajaran baik pembelajaran langsung maupun tidak langsung dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan pembelajaran yang tepat. Kemendikbud memberikan acuan bahwa dalam menerapkan kurikulum 2013 di kelas dapat diterapkan dengan pendekatan saintifik. Pertanyaannya adalah apakah yang dimaksud dengan pendekatan saintifik dan seberapa efektifkah pendekatan saintifik dapat memberikan dampak perubahan yang besar dalam pembelajaran?
Oleh karena itu penulis mengangkat tema yang berkaitan dengan pendekatan saintifik dalam pembelaran tematik terpadu pada kurikulum 2013 dengan judul “Pendekatan Saintifik”.
1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, yang menjadi pokok permasalahan dalam makalah ini adalah :
1.      Apa pengertian pendekatan saintifik ?
2.      Bagaimana pendekatan ilmiah dan non-ilmiah dalam pembelajaran ?
3.      Bagaimana peristiwa / kondisi pembelajaran ?
4.      Apa langkah-langkah pembelajaran dalam pendekatan ilmiah ?
5.      Apa contoh penerapan pendekatan saintifik dalam pembelajaran ?


1.3  Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini agar mahasiswa dapat mendeskripsikan :
1.      Pengertian Pendekatan Saintifik.
2.      Pendekatan Ilmiah dan Non-ilmiah dalam Pembelajaran.
3.      Peristiwa / Kondisi Pembelajaran.
4.      Langkah-langkah Pembelajaran dalam Pendekatan Ilmiah.
5.      Contoh Penerapan Pendekatan Saintifik dalam Pembelajaran.

















BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Pendekatan Saintifik
Pembelajaran tematik terpadu menggunakan salah satu model pembelajaran menurut robin fogarti (dalam Abdul, 2014: 193) yaitu model jaringan laba – laba (webbed model). Model ini berangkat dari pendekatan tematis sebagai acuan dasar bahan dan kegiatan pembelajaran. Tema yang dibuat dapat mengikat kegiatan pembelajaran, baik dalam mata pelajaran tertentu maupun antar mata pelajaran.
Proses pembelajarannya menggunakan pendekatan – pendekatan saintifik. Hal ini dimaksud untuk memberikan pemahaman kepada peserta didik dalam mengenal, memahami berbagai materi menggunakan pendekatan ilmiah, bahwa informasi bisa berasal darimana saja, tidak bergantung pada informasi searah dari guru.
Pendekatan pembelajaran ilmiah (dalam Abdul, 2014 : 195) menekankan pada pentingnya kolaborasi dan kerjasama di antara peserta didik dalam menyelesaikan setiap permasalahan dalam pembelajaran selain dengan tetap mengacu pada standar proses dimana pembelajarannya diciptakan suasana yang memuat eksplorasi, elaborasi dan konfirmasi, juga dengan mengedepankan kondisi peserta didik yang berprilaku ilmiah dengan bersama-sama diajak mengamati, menanya, menalar, merumuskan, menyimpulkan dan mengomunikasikan, sehingga peserta didik akan dapat dengan benar menguasai materi yang dipelajarinya dengan baik.
Metode ilmiah umumnya menempatkan fenomena unik dalam kajian spesifik dan detailnya untuk kemudian merumuskan simpulan umum.  Untuk dapat disebut ilmiah metode pencarian (method of inquiry) harus berbasis pada bukti - bukti dari objek yang dapat di observasi, empiris, dan terukur dengan prinsip- prinsip penalaran yang spesifik. Oleh karena itu metode ilmiah umumnya memuat serangkaian aktivitas pengumpulan data melalui observasi atau eksperimen, mengolah informasi atau data, menganalisis kemudian memformulasi, dan menguji hipotesis, modul diklat kurikulum 2013 (dalam Abdul, 2014: 196).
Menurut Faisal (2014 : 48) terdapat dua jenis kebenaran, yaitu kebenaran yang bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa dan kebenaran yang bersumber dari ilmu pengetahuan. Kebenaran jenis pertama disebut juga kebenaran ilahiah, sedangkan kebenaran jenis kedua disebut kebenaran ilmiah. Kebenaran ilahiah bersifat absolut, berlaku pada semua kondisi, tidak terikat waktu dan tempat. Kebenaran yang pertama ini diperoleh dari wahyu Ilahiah yang dapat ditemukan dalam kitab-kitab agama samawi. Oleh karena itu, kebenaran tipe pertama ini diperoleh melalui pendekatan keagamaan ( religiusitas ). Adapun kebenaran jenis kedua lebih bersifat kebenaran metodologis. Kebenaran tipe ini diperoleh melalui penelitian terhadap gejala alam dengan menggunakan metode ilmiah, yaitu suatu kajian terhadap gejala alam yang dilakukan secara sistematis, terkontrol, empiris, dan kritis terhadap proposisi-proposisi hipotesis tentang hubungan yang diperkirakan terdapat antar gejala alam. Dengan kata lain, kebenaran ilmiah merupakan kebenaran yang diperoleh melalui pendekatan saintifik. Oleh sebab itu, kebenaran ilmiah bersifat kondisional, terikat pada ruang dan waktu, serta dapat berubah sesuai dengan perubahan metodologi.
Pendekatan saintifik (dalam Faisal, 2014 : 49) merupakan suatu pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran dengan menitikberatkan pada penggunaan metode ilmiah dalam proses pembelajaran. Hal ini didasari pada esensi pembelajaran yang sesungguhnya merupakn sebuah proses ilmiah yang dilakukan oleh siswa dan guru. Pendekatan ini diharapkan dapat membuat siswa berpikir ilmiah, logis, kritis, dan objektif sesuai dengan fakta yang ada. De Vito ( dalam Faisal, 2014 : 49 ) juga menjelaskan bahwa pendekatan saintifik adalah pendekatan pembelajaran yang memungkinkan terbudayakannya kecakapan berpikir ilmiah sekaligus terkembangkannya sense of inquiry dan kemampuan berpikir kreatif siswa. Selanjutnya, Partin (dalam Faisal, 2014 : 49) juga menjelaskan bahwa pendekatan saintifik merupakan dasar-dasar dari sebuah riset yang memungkinkan siswa mengumpulkan data dengan objektif untuk memecahkan permasalahan. Oleh sebab itu, pendekatan saintifik sering juga disebut sebagai pendekatan induktif. Hal ini disebabkan karena pendekatan saintifik dimulai dari hal-hal yang bersifat spesifik ke simpulan yang bersifat general.
Melihat paparan di atas, yang menjadi titik tekan secara umum dalam pendekatan saintifik adalah “proses” mencapai hasil akhir tertentu, bukan justru tertuju pada hasil akhir yang telah diperoleh.
Pendekatan saintifik tidak hanya dapat diterapkan pada semua bidang keilmuan selain itu, hal yang terpenting dalam pendekatan saintifik adalah dapat membentuk siswa mempunyai domain sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang seimbang dan utuh sesuai dengan tuntutan pendidikan abad 21.
Berdasarkan batasan pengertian pendekatan saintifik di atas, dapat ditentukan beberapa ciri-ciri pendekatan saintifik (dalam Faisal, 2014 : 50) sebagai berikut :
1.      Sistematis
Sistematis adalah kegiatan yang menggunakan pendekatan saintifik dan harus berlangsung secara sistematis. Antara satu tahap dengan tahap berikutnya memiliki hubungan pendasaran, tidak boleh di bolak balikkan.
2.      Terkontrol
Terkontrol adalah pelaksanaan setiap tahap yang harus dapat dikendalikan. Antara tahap memulai dan mangakhiri dan tahap pertama yang selanjutnya di ikuti pelaksanaan tahap berikutnya harus dapat dikendalikan, artinya, dapat dikontrol capaian setiap tahapannya dan juga akumulasi semua tahapan pelaksanaan.
3.      Empirik
Empirik adalah kegiatan yang harus di dasari hasil pengamatan.
4.      Kritis
Kritis adalah hasil kegiatan ilmiah yang dilakukan para saintis tidaklah merupakan sesuatu yang hadir di ruang hampa. Satu kegiatan ilmiah atau saintifik memiliki hubungan yang erat dengan kegiatan ilmiah atau saintifik lainnya. Maka kegiatan saintifik berikutnya haruslah dilakukan telaah terhadap proposisi-proposisi ilmiah yang telah ditemukan sebelumnya.
2.2 Pendekatan Ilmiah dan Non-ilmiah dalam Pembelajaran
Menurut Sudarwan (dalam Muhammad, 2014 : 83), pendekatan saintifik bercirikan penonjolan dimensi pengamatan, penalaran, penemuan, pengabsahan, dan penjelasan tentang suatu kebenaran. Dengan demikian, proses pembelajaran harus dilaksanakan dengan dipandu nilai – nilai, prinsip – prinsip atau kriteria ilmiah. Proses pembelajaran disebut ilmiah jika memenuhi kriteria sebagai berikut:
·         Substansi atau materi pembelajaran berbasis pada fakta atau fenomena yang dapat dijelaskan dengan logika atau penalaran tertentu; bukan sebatas kira- kira, khayalan, legenda, atau dongeng semata.
·         Penjelasan guru, respon peserta didik, dan interaksi edukatif guru- peserta didik terbebas dari prasangka yang serta- merta, pemikiran subjektif, atau penalaran yang menyimpang dari alur berfikir logis.
·         Mendorong dan menginspirasi peserta didik berfikir secara kritis, analitis, dan tepat dalam mengidentifikasi, memahami dan memecahkan masalah, dan mengaplikasikan substansi atau materi pembelajaran.
·         Mendorong dan menginspirasi peserta didik mampu memahami, menerapkan, dan mengembangkan pola berpikir yang rasional dan objektif dalam merespon substansi atau materi pembelajaran.
·         Berbasis pada konsep, teori dan fakta empiris yang dapat dipertanggung jawabkan.
·         Tujuan pembelajaran dirumuskan secara sederhana dan jelas, namun menarik system penyajiannya.
Proses pembelajaran (dalam Abdul, 2014: 197) harus terhindar dari sifat–sifat atau nilai-nilai non ilmiah yang meliputi intuisi, akal sehat, prasangka, penemuan melalui coba–coba, dan asal berfikir kritis.
1.      Intuisi
Intuisi sering dimaknai sebagai  kecakapan praktis yang kemunculannya bersifat irasional dan individual. Intuisi juga bermakna kemampuan tingkat tinggi yang dimiliki oleh seseorang atas dasar pengalaman dan kecakapannya . istilah ini sering juga dipahami sebagai penilaian terhadap sikap, pengetahuan, dan keterampilan secara cepat dan berjalan secara sendirinya. Kemampuan intuitif itu biasanya didapat secara cepat tanpa melalui proses panjang dan tanpa disadari.
2.      Akal Sehat
Guru dan peserta didik harus menggunakan akal sehat selama proses pembelajaran karena memang hal itu dapat menunjukkan ranah sikap, keterampilan dan pengetahuan yang benar. Namun demikian, jika guru dan peserta didik hanya semata- mata hanya menggunakan akal sehat dapat pula menyesatkan mereka dalam proses dan pencapaian tujuan pembelajaran.
3.      Prasangka
Sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang diperoleh semata- mata atas dasar akal sehat (common sense) umumnya sangat kuat dipandu kepentingan seseorang (guru, peserta didik dan sejeninya) yang menjadi pelakunya, seringkali mereka menggeneralisasi hal – hal khusus menjadi terlalu luas.
Hal ini yang menyebabkan penggunaan akal sehat berubah menjadi prasangka atau pemikiran skeptic. Bberfikir skeptic atau prasangka itu memang penting jika diolah secara baik. Sebaliknya akan berubah menjadi pransangka buruk atau sikap tidak percaya jika diwarnai oleh kepentingan subjektif guru dan peserta didik.
4.      Penemuan Coba – coba
Tindakan atau aksi coba- coba seringkali melahirkan wujud atau temuan yang bermakna. Namun demikian, keterampilan dan pengetahuan yang ditemukan dengan cara coba – coba selalu bersifat tidak terkontrol, tidak memiliki kepastian, dan tidak bersistematika baku. Tentu saja tidakan coba- coba itu ada manfaatnya bahkan mampu mendorong kreatifitas. Oleh karena itu, kalau memang tindakan coba- coba ini akan dilakukan, harus disertai dengan pencatatan atas setiap tindakan, sampai dengan menemukan kepastian jawaban.
5.      Berfikir Kritis
Kemampuan berfikir kritis itu ada pada semua orang, khususnya menera yang normal hingga genius. Secara akademik diyakini bahwa pemikiran kritis itu umumnya dimiliki oleh orang yang berpendidikan tinggi. Orang seperti ini biasanya pemikirannya dipercaya benar oleh banyak orang. Tentu saja hasil pemikirannya itu tidak semua benar karena bukan berdasarkan hasil eksperimen yang valid dan reliable. Pendapatnya itu hanya didasari atas pemikiran logis semata.
2.3 Peristiwa / Kondisi Pembelajaran
Dick dan Carey (dalam Abdul, 2014 : 199) menyebutkan “sembilan peristiwa dalam mengajar” dari Gagne yang merupakan serangkaian kegiatan eksternal mengajar yang mendukung proses pembelajaran internal. Teori mengajar dari Gagne memperkenalkan tiga komponen utamanya, yaitu : kategori belajar (domain), kondisi pembelajaran, dan sembilan peristiwa dalam belajar.
Agar dapat mewujudkan pembelajaran yang efektif, kegiatan pembelajaran harus ditujukan untuk mempengaruhi proses pembelajaran internal. Gagne percaya bahwa mengajar adalah “serangkaian peristiwa eksternal yang secara sadar / sengaja dirancang untuk mendukung proses pembelajaran internal”, dan perlu diperhatikan jenis kejadian / peristiwa apa yang dapat memberikan dukungan tersebut. Berikut adalah daftar urutan peristiwa pembelajaran dari Gagne (dalam Abdul, 2014: 200), yaitu :
·         Mendapatkan perhatian.
·         Menginformasikan tujuan pembelajaran kepada peserta didik.
·         Rangsangan mengingat kembali sebelum belajar.
·         Menyajikan materi.
·         Memberikan bimbingan belajar.
·         Memunculkan kinerja.
·         Memberikan umpan balik mengenai ketepatan kinerja.
·         Menilai kinerja.
·         Meningkatkan retensi dan transfer.
Kesembilan peristiwa belajar tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
1.      Mandapatkan Perhatian
Ada berbagai macam teknik yang dapat digunakan untuk memperoleh perhatian peserta didik, antara lain dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa jenis perangkat untuk mendapatkan perhatian, seperti pemotongan cepat dalam video. Namun, cara terbaik untuk mendapatkan perhatian adalah bagaimana menarik perhatian peserta didik. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan pertanyaan-pertanyaan menyelidik seperti, “menurut kamu, apa yang menyebabkan daun gugur dari pohon?”.
Mendapatkan perhatian berkaitan langsung dengan konsep motivasi. Guru mengetahui dengan baik semua kesulitan yang dihadapi dalam memotivasi siswa agar memiliki minat terhadap pengajaran yang diberikan. John Keller telah mencoba untuk menjelaskan hal ini dengan mengembangkan model Motivasi ARCS yang merupakan singkatan dari :
A = Attention = Perhatian.
R = Relevance = Relevan.
C = Confidence = Keyakinan.
S= Satisfaction = Kepuasan.
Model ARCS adalah metode untuk meningkatkan daya tarik motivasional dari bahan ajar. Model ini didasarkan pada penelitian yang berkaitan dengan motivasi yang menunjukkan bahwa seseorang termotivasi untuk terlibat dalam suatu kegiatan jika dianggap berhubungan dengan pemuasan kebutuhan pribadinya, dan jika ada harapan positive untuk sukses. Menurut Keller (1988), keempat kondisi tersebut harus dipenuhi agar orang-orang menjadi tetap termotivasi.
a.       Perhatian
Mendapatkan perhatian siswa merupakan persyaratan untuk belajar. Anda harus memperhatikan bagaimana untuk mendapatkan dan mempertahankan perhatian. Mendapatkan perhatian biasanya mudah, tetapi mempertahankan bisa jadi sulit.
b.      Relevansi
Ini terkait dengan bagaimana membuat pengajaran menjadi relevan dengan kebutuhan peserta didik dimasa kini dan masa depan. Tidak cukup anda memberi tahu murid-murid, “kalian akan membutuhkan ini dimasa depan”. Banyak siswa, khususnya yang lebih muda, tidak peduli dengan kebutuhan masa depan sehingga anda harus mencari cara untuk membuat pengajaran anda tampak relevan dengan kebutuhan mereka saat ini.
c.       Keyakinan
Keyakinan dapat mempengaruhi ketekunan dan prestasi peserta didik. Orang yang percaya diri cenderung untuk mengakui kesuksesan mereka karena kemampuan dan usaha, bukan karena keberuntungan, dan percaya bahwa mereka dapat mencapai tujuan melalui tindakan mereka. Sebaliknya, orang yang tidak percaya diri memiliki rasa takut gagal yang lebih besar. Perlu digunakan berbagai strategi untuk mengesankan peserta didik sehingga lebih berusaha agar mereka dapat berhasil.
d.      Kepuasan
Hal ini membuat orang merasa baik / senang dengan prestasi mereka. Orang akan merasa lebih percaya diri jika mereka dibuat sadar akan tugas dan hadiah dari kesuksesan, dan jika jadwal penguatan yang sesuai digunakan. Ini juga penting untuk membuat siswa merasa bahwa mereka memiliki kontrol atas perilaku yang mengarah kepada reward.
Jika keempat kondisi terpenuhi, seseorang dapat berasumsi telah membuat upaya yang wajar untuk memperoleh dan mempertahankan motivasi peserta didik mereka. Dalam rangka memenuhi empat kondisi tersebut, kita harus menyadari kebutuhan dan minat dari peserta didik.
2.      Memberitahukan Tujuan Pembelajaran kepada Peserta Didik
Siswa harus diberitahu jenis kinerja yang akan digunakan untuk menentukan apakah mereka telah belajar apa yang seharusnya mereka pelajari. Dalam beberapa kasus mungkin tidak perlu secara khusus menginformasikan peserta didik mengenai tujuan pembelajaran karena mereka sudah mengetahuinya (misalnya, pelajaran teknis). Namun, dalam banyak kasus, hal tersebut perlu dilakukan untuk menjelaskan kepada peserta didik apa yang mereka harus upayakan untuk dipelajari. Sebagai contoh, jika siswa belajar UUD 1945, mereka harus mampu menghafal pembukaan, atau mereka harus mampu menyatakan pokok-pokok utamanya.
3.      Merangsang Pengulangan Kembali Prasyarat Belajar
Menurut teori pemrosesan informasi kognitif, pembelajaran yang paling baru tergantung pada hubungan yang dibuat dengan pelajaran sebelumnya. Misalnya, konsep-konsep dan aturan tertentu harus dipelajari sebelumnya agar dapat mempelajari hal-hal baru yang lebih tinggi tingkatannya. Ketika pembelajaran baru akan segera dilakukan, informasi sebelumnya yang relevan harus dapat diakses secara internal sehingga dapat dijadikan bagian dari peristiwa belajar. Aksesibilitas ini dipastikan dengan dimilikinya informasi-informasi sebelumnya yang dapat diingat kembali sesaat sebelum menyajikan informasi baru. Hal ini dapat dilakukan dengan mengajukan pertanyaan tentang apa yang telah diketahui atau mengulang kembali.
4.      Menyajikan Material Ajar
Peristiwa ini terjadi ketika informasi yang baru disajikan kepada peserta didik. Misalnya, jika peserta didik harus belajar serangkaian fakta maka fakta-fakta tersebut harus dikomunikasikan kepada mereka dalam berbagai bentuk. Jika mereka harus belajar keterampilan motorik, keterampilan tersebut harus dilakukan. Hal ini penting bahwa ransangan yang tepat disajikan sebagai bagian dari peristiwa pembelajaran. Misalnya, jika anda ingin peserta didik mampu untuk menjawab pertanyaan yang disampaikan secara lisan dalam bahasa inggris, anda tidak perlu memberikan pertanyaan dalam bahasa indonesia atau menuliskannya dalam bahasa inggris. Jika anda tidak menggunakan rangsangan yang tepat, anda mungkin berakhir pada mengajarkan keterampilan yang salah.
Keberadaan stimulus seringkali menekankan ciri-ciri yang mendorong peserta didik untuk memilih apa yang anda inginkan kemudian memperhatikannya. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan huruf miring, cetak tebal, menggaris bawahi, atau gambar dengan panah atau lingkaran atau menyorotinya. Kehadiran stimulus untuk pembelajaran konsep dan aturan memerlukan penggunaan berbagai contoh.
5.      Menyediakan Bimbingan Belajar
Bimbingan belajar biasanya berupa bentuk komunikasi antara guru dan siswa yang dapat membantu membimbing peserta didik untuk pencapaian tujuan. Komunikasi ini merangsang arah pemikiran dan membantu menjaga peserta didik berada pada proses pembelajaran yang mengarah ke situasi belajar yang lebih efisien. Satu-satunya tujuan dari bimbingan belajar adalah untuk membantu dalam proses pembelajaran, dan untuk memastikan kemajuan siswa dari satu keadaan ke keadaan yang lain. Dalam memberikan bantuan tersebut tidak termasuk didalamnya memberikan jawaban kepada peserta didik, melainkan menunjukkan garis pemikiran yang mungkin akan mengarah pada hasil yang diinginkan. Hindarilah menghadirkan informasi sebagaimana apa adanya, yang perlu anda benar-benar coba lakukan adalah memfasilitasi pembelajaran.
6.      Membangun Kinerja (Praktik)
Peristiwa selanjutnya memungkinkan peserta didik untuk berkomuniaksi dengan guru mengenai apakah mereka bisa atau tidak melakukan keterampilan yang telah mereka coba pelajari. Hal ini dilakukan dengan menyediakan latihan praktik bagi peserta didik. Biasanya, praktik awal dilakukan dengan menggunakan contoh yang sama dengan keterampilan yang ditunjukkan peserta didik. Hal ini diikuti oleh lebih banyak contoh yang berbeda dari aslinya. Semua item praktik harus sesuai dengan kinerja dan kondisi yang ditunjukkan dalam tujuan pembelajaran anda.

Item praktik yang baik harus mencakup unsur-unsur berikut :
·         Harus secara jelas menentukan format praktik dan sifat respon siswa.
·         Harus relevan dengan tujuan.
·         Harus mendapatkan kinerja yang tepat sesuai dengan yang dinyatakan dalam tujuan.
·         Harus menghadirkan ketentuan yang tepat sebagaimana dinyatakan dalam tujuan.
·         Praktik secara individual maupun kelompok perlu dilakukan.
·         Praktik harus diberikan sesering dan segera setelah instruksi diberikan.
7.      Memberikan Umpan Balik.
Peserta didik tidak hanya perlu dibekali dengan latihan praktik, mereka harus diberi umpan balik tentang kinerja mereka. Umpan balik dapat berbentuk lisan, tertulis, komputerisasi, atau diberikan dalam bentuk lain. Terlepas dari bentuk yang anda pilih, umpan balik harus menginformasikan peserta didik tentang tingkat ketepatan dalam kinerja mereka sehingga mereka dapat memperbaiki upaya berikutnya. Hal ini juga harus diberikan sesegera mungkin setelah kinerja ditunjukkan. Umpan balik yang baik harus mencakup unsur-unsur berikut :
·         Harus memberikan komentar tentang kinerja peserta didik.
·         Harus diberikan sesegera dan sesering mungkin.
·         Jika memungkinkan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengoreksi kesalahan mereka sendiri.
·         Harus mempertimbangkan berbagai jenis umpan balik : pengetahuan tentang hasil, pengetahuan tentang hasil yang benar, analisis (yang berkaitan dengan kriteria), pemberian motivasi (reinforcement).
8.      Menilai Kinerja
Dalam peristiwa kedelapan, anda memunculkan kinerja dari peserta didik untuk menentukan apakah pembelajaran yang diinginkan telah terjadi. Siswa dinilai untuk menentukan apakah instruksi tersebut telah memenuhi rencana tujuan, dan juga untuk mengetahui apakah setiap siswa telah mencapai tujuan yang diinginkan. Sekarang anda harus menentukan nama dari jenis penilaian yang akan anda gunakan dan bagaimana akan mengadministrasikannya. Perlu diingat bahwa penilaian anda harus sesuai dengan tujuan yang direncanakan sehingga memberikan penilaian yang akurat.

9.      Meningkatkan Retensi dan Transfer
Banyak orang merasa bahwa ketika tes selesai begitu juga pembelajaran. Namun, sebagai langkah terakhir adalah penting mengetahui cara-cara untuk meningkatkan peluang bahwa keterampilan yang telah diajarkan akan digunakan dengan baik oleh peserta didik ketika mereka menggunakannya diluar konteks pembelajaran. Peserta didik mungkin dapat mengingat pengetahuan dan keterampilan baru didalam kelas, tetapi bagaimana ketika mereka masuk kedunia nyata?
Karena belajar pada umumnya merupakan situasi khusus, cara terbaik untuk membantu dalam retensi dan transfer adalah menyediakan konteks yang berarti untuk menyajikan pengajaran. Jika keterampilan yang harus dipelajari merupakan keterampilan yang digunakan dalam dunia nyata, cobalah untuk menciptakan sebuah “ruang kelas” lingkungan belajar yang mendekati konteks dunia nyata sedekat mungkin sehingga ketika peserta didik masuk kedunia nyata, perubahan tidak akan terlalu besar. Dari bahasan mengenai peristiwa pembelajaran dari Gagne, bisa mencatat bagaimana masing-masing dari peristiwa berkaitan dengan proses pembelajaran internal.
Peristiwa Pengajaran
Hubungan dengan Proses Pembelajaran
1.      Mendapatkan perhatian.
Penerimaan pola impuls / rangsangan saraf.
2.      Menginformasikan tujuan kepada siswa.
Mengaktifkan proses kontrol.
3.      Merangsang mengingat kembali sebelum belajar.
Mengulang kembali pembelajaran sebelumnya agar ingatan bekerja.
4.      Menyajikan materi.
Menekankan ciri-ciri untuk persepsi selektif.
5.      Memberikan bimbingan belajar.
Pengodean semantik ; isyarat untuk mengulang kembali.
6.      Memunculkan kinerja.
Mengaktifkan pengorganisasian respons.
7.      Memberi umpan balik mengenai perbaikan kinerja.
Membangun reinforcement / penguatan.
8.      Menilai kinerja.
Mengaktifkan retrieval ; memungkinkan penggunaan penguatan.
9.      Meningkatkan retensi dan transfer.
Memberikan isyarat dan strategi untuk retrieval.
2.4 Langkah-langkah Pembelajaran dalam Pendekatan Ilmiah
Menurut L. Partin (Faisal, 2014, 52) langkah-langkah pendekatan saintifik terdiri dari empat bagian, yaitu :
1.      Menetapkan Masalah
Awal pembelajaran, permasalahan yang di angkat perlu di definisikan dengan baik. Enstein mengatakan bahwa apabila masalah dapat didefinisikan dengan baik berarti sudah setengah permasalahan dapat dipecahkan.
2.      Membuat Hipotesis
Jawaban yang potensial diperkirakan setelah mengumpulkan data-dat mengenai permasalahan. Tahap ini mencoba menerapkan ilmu-ilmu baru yang berhubungan dengan masalah yang ditangani,mengobservasi, menguji teori, dan melakukan riset-riset awal.
3.      Menguji Hipotesis
Eksperimen dirancang dan dilaksanakan untuk menentukan apakah hipotesis mampu memecahkan masalah atau tidak.
4.      Menarik Simpulan
Simpulan dicapai untuk menentukan apakah hipotesis benar atau salah. Hasil-hasil riset biasanya ditampilkan sebagai artikel-artikel riset dalam bentuk statistik probalitas, dimana hasil-hasil yang diperoleh bisa terjadi karena adanya kesempatan.
Bahwa pendekatan saintifik pada dasarnya merujuk kepada pendekatan yang dikembangkan oleh Francis Bacon (Faisal, 2014 : 52). Pendekatan saintifik tersebut mempunyai langkah-langkah, yaitu :
1.      Mengidentifikasi masalah ( dari fakta yang ditemukan di lingkungan ).
2.      Mengumpulkan data yang sesuai dengan permasalahan yang ditemukan.
3.      Memilah data yang sesuai dengan permasalahan.
4.      Merumuskan hipotesis ( dugaan ilmiah yang menjelaskan data dan permasalahan yang ada, sehingga dapat menentukan langkah penyelesaian masalah lebih lanjut ).
5.      Menguji hipotesis dengan mencari data yang lebih faktual ( mengadakan eksperimen ).
6.      Menguji keakuratan hipotesis yang telah dirumuskan sebelumnya supaya bisa menentukan tindakan terhadap hipotesis tersebut ( mengkonfirmasi, memodifikasi, ataupun menolak hipotesis ).
Apabila ditelaah lebih lanjut, maksud dari setiap langkah yang diberikan sebenarnya hampir bersamaan, hanya saja cara pengungkapannya yang berbeda. Dalam hal ini, Tytler (Faisal, 2014 : 53) mengatakan bahwa setiap pendekatan mempunyai langkah-langkah tertentu, namun mempunyai tujuan yang sama, yaitu :
a.       Menggali gagasan siswa.
b.      Mengadakan klarifikasi dan perluasan terhadap gagasan tersebut.
c.       Merefleksikannya secara eksplisit.
Pendekatan ilmiah (scientific approach) dalam pembelajaran sebagaimana dimaksud meliputi mengamati, menanya, mencoba, mengolah, menyajikan, menyimpulkan dan mencipta untuk semua mata pelajaran.
Berikut adalah pendekatan ilmiah (scientific approach) dalam pembelajaran :
1.      Mengamati
Menurut Samatowa (Faisal, 2014 : 56), kegiatan mengamati merupakan keterampilan dasar yang harus dimiliki oleh setiap siswa dalam melakukan penyelidikan ilmiah (the basic of all scientific inquiry is observation). Proses mengamati dapat dilakukan dengan indera, tetapi tidak menutup kemungkinan pengamatan dilakukan dengan menggunakan alat, misalnya termometer, timbangan atau mikroskop.
Selanjutnya Samatowa juga menjelaskan bahwa terdapat beberapa indikator seseorang dalam mengamati, antara lain :
a.       Menggunakan indera secara aman dan sesuai.
b.      Mengenali perbedaan dan persamaan objek atau kejadian.
c.       Mengenali urutan kegiatan.
d.      Mengamati suatu objek atau kejadian secara detail.
Mengamati mengutamakan kebermaknaan proses pembelajaran (meaningfull learning). Kegiatan mengamati memiliki keunggulan tertentu, seperti menyajikan media obyek secara nyata, siswa senang dan tertantang, dan mudah pelaksanaannya. Kegiatan mengamati dalam rangka pembelajaran ini biasanya memerlukan waktu persiapan yang lama dan matang, biaya dan tenaga relatif banyak, dan jika tidak terkendali akan mengaburkan makna serta tujuan pembelajaran.
Kegiatan mengamati sangat bermanfaat bagi pemenuhan rasa ingin tahu siswa. Sehingga proses pembelajaran memiliki kebermaknaan yang tinggi. Dengan mengamati siswa menemukan fakta bahwa ada hubungan antara objek yang dianalisis dengan materi pembelajaran yang digunakan oleh guru.
Kegiatan mengamati dalam pembelajaran dilakukan dengan menempuh langkah-langkah berikut :
a.       Menentukan objek yang akan diobservasi.
b.      Membuat pedoman observasi sesuai dengan lingkup objek yang akan di observasi.
c.       Menentukan secara jelas data-data apa yang perlu di observasi, baik primer maupun sekunder.
d.      Menentukan dimana tempat objek yang akan di observasi.
e.       Menentukan secara jelas bagaimana observasi akan dilakukan untuk mengumpulkan data agar berjalan mudah dan lancar.
f.       Menentukan cara dan melakukan pencatatan atas hasil observasi, seperti menggunakan buku catatan, kamera, tape recorder, video perekam, dan alat-alat tulis lainnya. Kegiatan observasi dalam proses pembelajaran meniscayakan keterlibatan peserta didik secara langsung. Dalam kaitan ini, guru harus memahami bentuk keterlibatan peserta didik dalam observasi tersebut.
Menurut Faisal (2014 : 57) kegiatan mengamati dalam proses pembelajaran meniscayakan keterlibatan siswa secara langsung. Dalam kaitan ini, guru harus memahami bentuk keterlibatan siswa dalam pengamatan tersebut.
a.       Pengamatan biasa (common observation). Pada observasi biasa untuk kepentingan pembelajaran, peserta didik merupakan subjek yang sepenuhnya melakukan observasi (complete observer). Disini peserta didik sama sekali tidak melibatkan diri dengan pelaku, objek atau situasi yang diamati.
b.      Pengamatan terkendali (controlled observation). Seperti halnya observasi biasa, pada observasi terkendali untuk kepentingan pembelajaran, peserta didik sama sekali tidak melibatkan diri dengan pelaku, objek atau situasi yang diamati. Mereka juga tidak memiliki hubungan apapun dengan pelaku, objek atau situasi yang diamati. Namun demikian, berbeda dengan observasi biasa, pada observasi terkendali pelaku atau objek yang diamati ditempatkan pada ruang atau situasi yang dikhususkan. Oleh karena itu, pada pembelajaran dengan observasi terkendali termuat nilai-nilai percobaan atau eksperimen atas diri pelaku atau objek yang diobservasi.
c.       Pengamatan partisipatif (participant observation). Pada observasi partisipatif, peserta didik melibatkan diri secara langsung dengan pelaku atau objek yang diamati. Sejatinya, observasi semacam ini paling lazim dilakukan dalam penelitian antropologi khususnya etnografi. Observasi semacam ini mengharuskan peserta didik melibatkan diri pada pelaku, komunitas, atau objek yang diamati. Di bidang pengajaran bahasa, misalnya dengan menggunakan pendekatan ini berarti peserta didik hadir dan “bermukim” langsung ditempat subjek atau komunitas tertentu dan pada waktu tertentu pula untuk mempelajari bahasa atau dialek setempat, termasuk melibatkan diri secara langsung dalam situasi kehidupan mereka.
Menurut Faisal (2014 : 57) selama proses pembelajaran, peserta didik dapat melakukan observasi dengan dua cara pelibatan diri. Kedua cara pelibatan dimaksud yaitu :
a)      Observasi Berstruktur
Pada observasi berstruktur dalam rangka proses pembelajaran, fenomena subjek, objek, atau situasi apa yang ingin diobeservasi oleh peserta didik telah direncanakan secara sistematis di bawah bimbingan guru.
b)      Observasi Tidak Berstruktur
Pada observasi tidak berstruktur dalam rangka proses pembelajaran, tidak ditentukan secara baku atau rigid mengenai apa yang harus diobservasi oleh peserta didik. Dalam kerangka ini, peserta didik membuat catatan, rekaman, atau mengingat dalam memori secara spontan atas subjek, objektif, atau situasi yang diobservasi.
Praktik observasi dalam pembelajaran hanya akan efektif jika peserta didik dan guru melengkapi diri dengan alat-alat pencatatan dan alat-alat lain, seperti : 1) tape recorder, untuk merekam pembicaraan; 2) kamera, untuk merekam objek atau kegiatan secara visual; 3) film atau video, untuk merekam kegiatan objek atau secara audio-visual; dan 4) alat-alat lain sesuai dengan keperluan.
Secara lebih luas, alat atau instrumen yang digunakan dalam melakukan observasi, dapat berupa daftar cek (checklist), skala rentang (rating scale), catatan anekdotal (anecdotal record), catatan berkala, dan alat mekanikal (mechanical device). Daftar cek dapat berupa suatu daftar yang berisikan nama-nama subjek, objek, atau faktor-faktor yang akan diobservasi. Skala rentang, berupa alat untuk mencatat gejala atau fenomena menurut tingkatannya. Catatan anekdotal berupa catatan yang dibuat oleh peserta didik dan guru mengenai kelakuan-kelakuan luar biasa yang ditampilkan oleh subjek atau objek yang diobservasi. Alat mekanikal berupa alat mekanik yang dapat dipakai untuk memotret atau merekam peristiwa-peristiwa tertentu yang ditampilkan oleh subjek atau objek yang diobservasi.
Prinsip-prinsip yang harus diperhatikan oleh guru dan peserta didik selama observasi pembelajaran (dalam Faisal, 2014 : 60) adalah sebagai berikut :
a.       Cermat, objektif, dan jujur serta terfokus pada objek yang diobservasi untuk kepentingan pembelajaran.
b.      Banyak atau sedikit serta homogenitas atau heterogenitas subjek, objek, atau situasi yang diobservasi. Makin banyak dan heterogen subjek, objek atau situasi yang diobservasi, makin sulit kegiatan observasi itu dilakukan. Sebelum observasi dilaksanakan, guru dan peserta didik sebaiknya menentukan dan menyepakati cara dan prosedur pengamatan.
c.       Guru dan peserta didik perlu memahami apa yang hendak dicatat, direkam dan sejenisnya, serta bagaimana membuat catatan atas perolehan observasi.
Dalam kegiatan mengamati (Abdul, 2014 : 214), guru membuka secara luas dan bervariasi kesempatan peserta didik untuk melakukan pengamatan melalui kegiatan: melihat, menyimak, mendengar dan membaca. Guru memfasilitasi peserta didik untuk melakukan pengamatan, melatih mereka untuk memperhatikan (melihat, membaca, mendengar) hal yang penting dari suatu benda atau objek.
2.      Menanya
Menurut Hanafiah dan Cucu Suhana (Faisal, 2014 : 60) menanya merupakan proses pembelajaran yang dilakukan siswa yang diawali dengan proses bertanya. Proses bertanya yang dilakukan siswa sebenarnya merupakan proses berpikir yang dilakukan siswa dalam rangka memecahkan masalah dalam kehidupannya. Selanjutnya Hanafiah dan Cucu Suhana juga menjelaskan bahwa proses menanya begitu berati dalam rangka :
a.       Membangun perhatian (attention building)
b.      Membangun minat (interest building)
c.       Membangun motivasi (motivation building)
d.      Membangun sikap (attitude building)
e.       Membangun rasa keingintahuan (curiusity building)
f.       Membangkitkan interaksi antar siswa dan guru
g.      Membangun interaksi antara siswa dengan lingkungannya secara kontekstual.
h.      Membangun lebih banyak lagi pertanyaan yang dilakukan siswa dalam rangka menggali dan menemukan lebih banyak informasi (pengetahuan) dan keterampilan yang diperoleh oleh siswa.
Guru harus mampu menginspirasi peserta didik untuk meningkatkan dan mengembangkan ranah sikap, keterampilan, dan pengetahuannya. Pada saat guru bertanya, pada saat itu pula dia membimbing atau memandu peserta didiknya belajar dengan baik. Ketika guru menjawab pertanyaan peserta didiknya, ketika itu pula dia mendorong asuhannya itu untuk menjadi penyimak dan pembelajar yang baik.
Berbeda dengan penugasan yang menginginkan tindakan nyata, pernyataan di maksudkan untuk memperoleh tanggapan verbal. Istilah “pertanyaan” tidak selalu dalam bentuk “kalimat tanya”, melainkan juga dapat dalam bentuk pernyataan, asalkan keduanya menginginkan tanggapan verbal. Bentuk pertanyaan misalnya : Apakah ciri-ciri kalimat yang efektif ? Bentuk pernyataan, misalnya : Sebutkan ciri-ciri kalimat efektif?
Kegiatan menanya mempunyai fungsi yang sangat penting dalam pembelajaran saintifik. Adapun fungsi dari kegiatan menanya (dalam Faisal, 2014 : 61) antara lain sebagai berikut :
a.      Membangkitkan rasa ingin tahu, minat dan perhatian peserta didik tentang suatu tema atau topik pembelajaran.
b.     Mendorong dan menginspirasi peserta didik untuk aktif belajar, serta mengembangkan pertanyaan dari dan untuk dirinya sendiri.
c.      Mendiagnosis kesulitan belajar peserta didik sekaligus menyampaikan rancangan untuk mencari solusinya.
d.     Menstrukturkan tugas-tugas dan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menunjukkan sikap, keterampilan, dan pemahamannya atas substansi pembelajaran yang diberikan.
e.      Membangkitkan keterampilan peserta didik dalam berbicara, mengajukan pertanyaan, dan memberi jawaban secara logis, sistematis, dan menggunakan bahasa yang baik dan benar.
f.      Mendorong partisipasi peserta didik dalam berdiskusi, berargumen, mengembangkan kemampuan berpikir, dan menarik kesimpulan.
g.     Membangun sikap keterbukaan untuk saling memberi dan menerima pendapat atau gagasan, memperkaya kosakata, serta mengembangkan toleransi sosial dalam hidup berkelompok.
h.     Membiasakan peserta didik berpikir spontan dan cepat, serta sigap dalam merespons persoalan yang tiba-tiba muncul.
i.       Melatih kesantunan dalam berbicara dan membangkitkan kemampuan berempati satu sama lain.
Turney (Abdul, 2014 : 216) mengindentifikasi 12 fungsi pertanyaan antara lain:
a.       Membangkitkan minat dan keingintahuan siswa tentang suatu topik.
b.      Memusatkan perhatian pada masalah tertentu.
c.       Menggalakkan penerapan belajar aktif.
d.      Merangsang siswa memberikan pertanyaan sendiri.
e.       Menstrukturkan tugas-tugas hingga kegiatan belajar dapat berlangsung secara maksimal.
f.       Mendiagnosis kesulitan belajar siswa.
g.      Mengomunikasikan dan merealisasikan bahwa semua siswa harus terlibat secara aktif dalam pembelajaran.
h.      Menyediakan kesempatan bagi siswa untuk mendemonstrasikan pemahamannya tentang informasi yang diberikan.
i.        Melibatkan siswa dalam memanfaatkan kesimpulan yang dapat mendorong mengembangkan proses berpikir.
j.        Mengembangkan kebiasaan menanggapi pernyataan teman atau pernyataan guru.
k.      Memberi kesempatan untuk belajar berdiskusi.
l.        Menyatakan perasaan dan pikiran yang murni kepada siswa.
Ada beberapa kriteria pertanyaan yang baik (dalam Abdul, 2014 : 217) antara lain :
a.       Singkat dan jelas
b.      Menginspirasi jawaban
c.       Memiliki fokus
d.      Bersifat probing atau divergen
e.       Bersifat validatif atau penguatan
f.       Memberi kesempatan peserta didik untuk berpikir ulang
g.      Merangsang peningkatan tuntutan kemampuan kognitif
h.      Merangsang proses interaksi
Abdul (2014 : 220) menyebutkan pertanyaan guru yang baik dan benar menginspirasi peserta didik untuk memberikan jawaban yang baik dan benar pula. Guru harus memahami kualitas pertanyaan, sehingga menggambarkan tingkatan kognitif seperti apa yang akan disentuh, mulai dari yang lebih rendah hingga yang lebih tinggi. Bobot pertanyaan yang menggambarkan tingkatan kognitif yang lebih rendah hingga yang lebih tinggi disajikan sebagai berikut :
Tingkatan
Subtingkatan
Kata-Kata Kunci Pertanyaan
Kognitif tingkat lebih rendah
Pengetahuan (knowledge)
Apa ...
Siapa ...
Kapan ...
Di mana ...
Sebutkan ...
Jodohkan / pasangkan ...
Persamaan kata ...
Golongkan ...
Berilah nama ...
dan lain-lain ...

Pemahaman (comprehension)
Terangkanlah ...
Bedakanlah ...
Terjemahkanlah ...
Simpulkan ...
Bandingkan ...
Ubahlah ...
Berikanlah interpretasi ...

Penerapan (application)
Gunakanlah ...
Tunjukanlah...
Buatlah ...

Demontrasikanlah...
Carilah hubungan ...
Tulislah contoh ...
Siapkanlah ...
Klasifikasikanlah...
Kognitif yang lebih tinggi
Analisis
Analisislah ...
Kemukakan bukti-bukti ...
Mengapa ...
Identifikasi ...
Tunjukanlah sebabnya ...
Berilah alasan-alasan ...

Sintesis
Ramalkanlah ...
Bentuk ...
Buatlah / ciptakanlah ...
Susunlah ...


Rancanglah ...
Tulislah ...
Bagaimana memecahkan ...
Apa yang terjadi seandainya ...
Bagaimana kita dapat memperbaiki ...
Kembangkan ...

Evaluasi
Berikanlah pendapat anda ...
Alternatif mana yang lebih baik ...
Setujukah anda ...
Kritiklah ...
Berilah alasan ...
Nilailah ...
Bandingkan ...
Bedakanlah ...
Sumber : Modul Dilat Kurikulum 2013
3.      Menalar
1)      Esensi Menalar
Menalar (dalam Abdul, 2014 : 223) adalah salah satu istilah dalam kerangka proses pembelajaran dengan pendekatan ilmiah yang dianut dalam kurikulum 2013 untuk menggambarkan bahwa guru dan peserta didik merupakan pelaku aktif. Titik tekannya tentu dalam banyak hal dan situasi peserta didik harus lebih aktif daripada guru. Penalaran dimaksud merupakan penalaran ilmiah, walaupun penalaran nonilmiah tidak selalu tidak bermanfaat.
Istilah menalar di sini merupakan padanan dari associating; bukan merupakan terjemahan dari reasoning, meski istilah ini juga bermakna menalar atau penalaran. Oleh karena itu, aktivitas menalar dalam konteks pembelajaran pada kurikulum 2013 dengan pendekatan ilmiah banyak merujuk pada teori belajar asosiasi atau pembelajaran asosiatif. Istilah asosiasi pada pembelajaran merujuk pada kemampuan mengelompokkan beragam ide dan mengasosiasikan beragam peristiwa untuk kemudian memasukkannya menjadi penggalan memori. Selama mentransfer peristiwa-peristiwa khusus ke otak, pengalaman tersimpan dalam referensi dengan peristiwa lain. Pengalaman-pengalaman yang sudah tersimpan di memori otak berelasi dan berinteraksi dengan pengalaman sebelumnya yang sudah tersedia.
Proses itu dikenal sebagai asosiasi atau menalar. Dari perspektif psikologi, asosiasi merujuk pada koneksi antara entitas konseptual atau mental sebagai hasil dari kesamaan antara pikiran atau pendekatan dalam ruang dan waktu.
Menurut teori asosiasi (dalam Abdul, 2014 : 224), proses pembelajaran akan berhasil secara efektif jika terjadi interaksi langsung antara pendidik dengan peserta didik. Pola interaksi itu dilakukan melalui stimulus dan respons (S-R). Teori ini dikembangkan berdasarkan hasil eksperimen Thorndike, yang kemudian dikenal dengan teori asosiasi yang juga dikenal dengan teori Stimulus-Rsepons (S-R). Menurut Thorndike proses pembelajaran (lebih khusus lagi proses belajar) peserta didik terjadi secara perlahan atau inkremental / bertahap, bukan secara tiba-tiba.
Thorndike (dalam Abdul, 2014 : 224) mengemukakan berapa hukum dalam proses pembelajaran :
a.       Hukum efek (The Law of Effect), di mana intensitas hubungan antara stimulus (S) dan respons (R) selama proses pembelajaran sangat dipengaruhi oleh konsekuensi dari hubungan yang terjadi. jika akibat dari hubungan S-R itu dirasa menyenangkan, perilaku peserta didik akan mengalami penguatan. Sebaliknya, jika akibat hubungan S-R dirasa tidak menyenangkan , perilaku peserta didik akan melemah. Menurut thorndike, efek dari reward (akibat yang menyenangkan) jauh lebih besar dalam memperkuat perilaku peserta didik dibandingkan efek punishment (akibat yang tidak menyenangkan) dalam memperlemah perilakunya. Ini bermakna bahwa reward akan meningkatkan perilaku peserta didik, tetapi punishment belum tentu akan mengurangi atau menghilangkan perilakunya.
b.      Hukum latihan (The Law of Exercise). Awalnya hukum ini terdiri dari dua jenis, yang setelah tahun 1930 dinyatakan dicabut oleh Thorndike karena dia menyadari bahwa latihan saja tidak dapat memperkuat atau membentuk perilaku. Pertama, Law of use yaitu hubungan antara S-R akan semakin kuat jika sering digunakan atau berulang-ulang. Kedua, Law of Disuse, yaitu hubungan antara S-R akan semakin lemah jika tidak dilatih atau berulang-ulang. Menurut Thorndike, perilaku dapat dibentuk dengan menggunakan penguatan (reinforcement). Memang, latihan berulang tetap dapat diberikan, tetapi yang terpenting adalah individu menyadari konsekuensi perilakunya.
c.       Hukum kesiapan (The Law of Readiness). Menurut Thorndike, pada prinsipnya apakah sesuatu itu akan menyenangkan atau tidak menyenangkan untuk dipelajari tergantung pada kesiapan individunya. Dalam proses pembelajaran, hal ini bermakna bahwa jika peserta dalam keadaan siap dan belajar dilakukan, maka mereka akan merasa puas. Sebaliknya, jika peserta didik dalam keadaan tidak siap dan belajar terpaksa dilakukan, mereka akan merasa tidak puas bahkan mengalami frustasi.
Prinsip-prinsip dasar dari Thorndike kemudian diperluas oleh B.F Skinner (dalam Abdul, 2014 : 225) dalam Operant Conditioning atau pelaziman / pengondisian operan. Pelaziman operan adalah bentuk pembelajaran di mana konsekuensi-konsekuensi dari pelaku menghasilkan perubahan dalam probabilitas perilaku itu akan diulangi. Merujuk pada teori S-R, proses pembelajaran akan makin efektif jika peserta didik makin giat belajar. Dengan begitu, berarti makin tinggi pula kemampuannya dalam menghubungkan S dengan R. Kaidah dasar yang digunakan dalam teori S-R adalah :
a.       Kesiapan (readiness). Kesiapan diidentifikasi berkaitan langsung dengan motivasi peserta didik. Kesiapan itu harus ada pada diri guru dan peserta didik. Guru harus benar-benar siap mengajar dan peserta didik benar-benar siap menerima pelajaran dari gurunya. Sejalan dengan itu, segala sumber daya pembelajaran pun perlu disiapkan secara baik dan seksama.
b.      Latihan (exercise). Latihan merupakan kegiatan pembelajaran yang dilakukan secara berulang oleh peserta didik. Pengulangan ini memungkinkan hubungan antara S dengan R makin intensif dan ekstensif.
c.       Pengaruh (effect). Hubungan yang intensif dan berulang-ulang antara S dan R akan meningkatkan kualitas ranah sikap, keterampilan, dan pengetahuan peserta didik sebagai hasil belajarnya. Manfaat hasil belajar yang diperoleh oleh peserta didik dirasakan langsung oleh mereka dalam dunia kehidupannya. Kaidah atau prinsip “pengaruh” dalam pembelajaran berkaitan dengan kemampuan guru menciptakan suasana, memberi penghargaan, celaan, hukuman dan ganjaran.
Oleh karena tidak semua perilaku belajar atau pembelajaran dapat dijelaskan dengan pelaziman sebagaimana dikembangkan oleh Ivan Pavlov (dalam Abdul, 2014 : 226), teori asosiasi biasanya menambahkan teori belajar sosial (sosial learning) yang dikembangkan oleh Bandura.
Menurut Bandura (dalam Abdul, 2014 : 226), belajar terjadi karena proses peniruan (imitation). Kemampuan peserta didik dalam meniru respons menjadi pengungkit utama aktivitas belajarnya. Ada empat konsep dasar teori belajar sosial (sosial learning theory) dari Bandura.
a.       Pemodelan (modeling), di mana peserta didik belajar dengan cara meniru perilaku orang lain (guru, teman, anggota masyarakat, dan lain-lain) dan pengalaman vicarious yaitu belajar dari keberhasilan dan kegagalan orang lain itu.
b.      Fase belajar, meliputi fase memberi perhatian terhadap model (attentional), mengendapkan hasil memperhatikan model dalam pikiran pebelajar (retention), menampilkan ulang perilaku model oleh pebelajar (reproduction), dan motivasi (motivation) ketika peserta didik berkeinginan mengulang-ulang perilaku model yang mendatangkan konsekuensi-konsekuensi positif dari lingkungan.
c.       Belajar vicarious, di mana peserta didik belajar dengan melihat apakah orang lain diberi ganjaran atau hukuman selama terlibat dalam perilaku-perilaku tertentu.
d.      Pengaturan diri (self-regulation), dimana peserta didik mengamati, mempertimbangkan, memberi ganjaran atau hukuman terhadap perilakunya sendiri.
Teori asosiasi ini sangat efektif menjadi landasan menanamkan sikap ilmiah dan motivasi pada peserta didik berkenaan dengan nilai-nilai instrinsik dari pembelajaran partisipatif. Dengan cara ini, peserta didik akan melakukan peniruan terhadap apa yang nyata diobsevasinya dari kinerja guru dan temannya di kelas.
Aplikasi pengembangan aktivitas pembelajaran untuk meningkatkan daya menalar peserta didik dapat dilakukan dengan cara berikut ini:
a.       Guru menyusun bahan pembelajaran dalam bentuk yang sudah siap sesuai dengan tuntutan kurikulum.
b.      Guru tidak banyak menerapkan metode ceramah atau metode kuliah. Tugas utama guru adalah memberi instruksi singkat tetapi jelas dengan disertai contoh-contoh, baik dilakukan sendiri maupun dengan cara simulasi.
c.       Bahan pembelajaran disusun secara berjenjang atau hierarkis, dimulai dari yang sederhana (persyaratan rendah) sampai pada yang kompleks (persyaratan tinggi).
d.      Kegiatan pembelajaran berorientasi pada hasil yang dapat diukur dan diamati.
e.       Setiap kesalahan harus segera dikoreksi atau diperbaiki.
f.       Perlu dilakukan pengulangan dan latihan agar perilaku yang diinginkan dapat menjadi kebiasaan atau pelaziman.
g.      Evaluasi atau penilaian didasari atas perilaku yang nyata atau otentik.
h.      Guru mencatat semua kemajuan peserta didik untuk kemungkinan memberikan tindakan pembelajaran perbaikan.

2)      Cara Bernalar
Terdapat dua cara bernalar yaitu penalaran induktif dan penalaran deduktif. Penalaran induktif merupakan cara menalar dengan menarik kesimpulan dari fenomena atau atribut-atribut khusus untuk hal-hal yang bersifat umum. Jadi, menalar secara induktif adalah proses penarikan kesimpulan dari kasus-kasus yang bersifat nyata secara individual atau spesifik menjadi simpulan yang bersifat umum. Kegiatan bernalar secara induktif lebih banyak berpijak pada observasi indrawi atau pengalaman empirik.
Penalaran deduktif merupakan cara menalar dengan menarik kesimpulan dari pernyataan-pernyataan atau fenomena yang bersifat umum menuju pada hal yang bersifat khusus. Pola penalaran deduktif dikenal dengan pola silogisme. Cara kerja menalar secara deduktif adalah menerapkan hal-hal yang umum terlebih dahulu untuk kemudian dihubungkan ke dalam bagian-bagiannya yang khusus.
Ada tiga jenis silogisme, yaitu silogisme kategorial, silogisme hipotesis, silogisme alternatif. Pada penalaran deduktif terdapat premis, sebagai proposisi menarik kesimpulan. Penarikan kesimpulan dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu langsung dan tidak langsung. Kesimpulan secara langsung ditarik dari satu premis, sedangkan kesimpulan tidak langsung ditarik dari dua premis.
4.      Mengolah
Pada tahapan mengolah ini, peserta didik sedapat mungkin dikondisikan belajar secara kolaboratif. Pada pembelajaran kolaboratif kewenangan dan fungsi guru lebih bersifat direktif atau manajer belajar. Sebaliknya, peserta didiklah yang harus lebih aktif. Jika pembelajaran kolaboratif diposisikan sebagai satu falsafah pribadi, maka ia menyentuh tentang identitas peserta didik terutama jika mereka berhubungan atau berinteraksi dengan yang lain atau guru.
Dalam situasi kolaboratif itu, peserta didik berinteraksi dengan empati, saling menghormati, dan menerima kekurangan atau kelebihan masing-masing. Dengan cara semacam ini akan tumbuh rasa aman sehingga memungkinkan peserta didik menghadapi aneka perubahan dan tuntutan belajar secara bersama-sama. Peserta didik secara bersama –sama, saling bekerja sama, saling membantu mengerjakan hasil tugas terkait dengan materi yang sedang dipelajari (kegiatan elaborasi). Hasil tugas dikerjakan bersama dalam satu kelompok untuk kemudian dipresentasikan atau dilaporkan kepada guru. 
5.      Mencoba
Untuk memperoleh hasil belajar yang nyata atau otentik, siswa harus mencoba atau melakukan percobaan, terutama untuk materi atau substansi yang sesuai. Pada mata pelajaran IPA misalnya, siswa harus memahami konsep-konsep IPA dan kaitannya dengan kehidupan sehari-hari.
Siswa pun harus memiliki keterampilan proses untuk mengembangkan pengetahuan tentang alam sekitar, serta mampu menggunakan metode ilmiah dan bersikap ilmiah untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya sehari-hari.
Aplikasi mencoba dimaksudkan untuk mengembangkan berbagai ranah tujuan belajar, yaitu sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Aktivitas pembelajaran yang nyata untuk ini adalah :
1)      Menentukan tema atau topik sesuai dengan Kompetensi Dasar (KD) menurut kurikulum;
2)      Mempelajari cara-cara penggunaan alat dan bahan yang tersedia dan harus disediakan;
3)      Mempelajari dasar teoritis yang relevan dan hasil-hasil eksperimen yang sebelumnya;
4)      Melakukan dan mengamati percobaan;
5)      Mencatat fenomena yang terjadi, menganalisis, dan menyajikan data;
6)      Menarik simpulan atas hasil percobaan; dan
7)      Membuat laporan dan mengkomunikasikan hasil percobaan.
Agar pelaksanaan percobaan dapat berjalan lancar maka :
1)      Guru hendaknya merumuskan tujuan eksperimen yang akan dilaksanakan siswa;
2)      Guru bersama siswa  mempersiapkan perlengkapan yang dipergunakan;
3)      Guru perlu memperhitungkan tempat dan waktu;
4)      Guru menyediakan kertas kerja untuk mengarahkan kegiatan siswa;
5)      Guru membicarakan masalah yang akan dijadikan percobaan;
6)      Membagi kertas kerja kepada siswa;
7)      Siswa melaksanakan percobaan dengan bimbingan guru; dan
8)      Guru mengumpulkan hasil kerja siswa dan mengevaluasinya, bila dianggap perlu di diskusikan secara klasikal.
Kegiatan pembelajaran (dalam Abdul, 2014 : 232) dengan mencoba dilakukan melalui tiga tahap, yaitu persiapan, pelaksanaan, dan tindak lanjut. Ketiga tahapan mencoba yang dimaksudkan yaitu :
a.       Persiapan
a)      Menetapkan tujuan percobaan
b)      Mempersiapkan alat dan bahan
c)      Mempersiapkan tempat percobaan sesuai dengan jumlah siswa serta alat atau bahan yang tersedia. Disini guru perlu menimbang apakah siswa akan mencoba secara serentak atau dibagi menjadi beberapa kelompok secara paralel atau bergiliran.
d)     Mempertimbangkan masalah keamanan dan kesehatan agar dapat memperkecil atau menghindari resiko yang mungkin timbul.
e)      Memberikan penjelasan mengenai apa yang harus diperhatikan dan tahapan-tahapan yang harus dilakukan siswa, termasuk hal-hal yang dilarang atau membahayakan.
b.      Pelaksanaan
a)      Selama proses mencoba, guru ikut membimbing dan mengamati proses percobaan. Disini guru harus memberikan dorongan dan bantuan terhadap kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh siswa agar kegiatan itu berhasil dengan baik.
b)      Selama proses mencoba, guru hendaknya memperhatikan situasi secara keseluruhan, termasuk membantu mengatasi dan memecahkan masalah-masalah yang akan menghambat kegiatan pembelajaran.
c.       Tindak Lanjut
a)      Siswa mengumpulkan laporan hasil percobaan kepada guru.
b)      Guru memeriksa hasil percobaan siswa.
c)      Guru memberikan umpan balik kepada siswa atas hasil percobaan yang telah dilakukannya.
d)     Guru dan siswa mendiskusikan masalah-masalah yang ditemukan selama percobaan.
e)      Guru dan siswa memeriksa dan menyimpan kembali segala bahan dan alat yang digunakan.
6.      Menyimpulkan  
Abdul (2014 : 233) menyebutkan bahwa kegiatan menyimpulkan merupakan kelanjutan dari kegiatan mengolah, bisa dilakukan bersama-sama dalam satu kesatuan kelompok, atau bisa juga dengan dikerjakan sendiri setelah mendengarkan hasil kegiatan mengolah informasi.
7.      Menyajikan
Hasil tugas yang telah dikerjakan bersama-sama secara koloboratif dapat disajikan dalam bentuk laporan tertulis dan dapat dijadikan sebagai salah satu bahan untuk portofolio kelompok dan atau individu, yang sebelumnya dikonsultasikan terlebih dulu kepada guru. Pada tahapan ini kendati tugas dikerjakan secara berkelompok, tetapi sebaiknya hasil pencatatan dilakukan oleh masing-masing individu sehingga portofolio yang dimasukkan ke dalam file atau map peserta didik terisi dari hasil pekerjaannya sendiri secara individu.
8.      Mengkomunikasikan
Pada kegiatan akhir diharapkan peserta didik dapat mengkomunikasikan hasil pekerjaan yang telah disusun baik secara bersama-sama dalam kelompok dan atau secara individu dari hasil simpulan yang telah dibuat bersama. Kegiatan mengkomunikasikan ini dapat diberikan klarifikasi oleh guru agar peserta didik mengetahui secara benar apakah jawaban yang telah dikerjakan sudah benar atau ada yang harus diperbaiki. Hal ini dapat diarahkan pada kegiatan konfirmasi sebagaimana pada Standar Proses.
Indikator yang tergolong mengkomunikasikan hasil menurut Samatowa (dalam Faisal, 2014 : 70) antara lain :
a.       Menyampaikan dan mengklarifikasikan ide/gagasan dengan lisan maupun tulisan.
b.      Membuat catatan hasil observasi dalam percobaan.
c.       Menyampaikan informasi dalam bentuk grafik, chart, atau tabel.
d.      Memilih alat komunikasi yang cocok agar mudah dipahami oleh orang lain.
2.5 Contoh Penerapan Pendekatan Saintifik dalam Pembelajaran
            Berikut ini akan diberikan contoh penerapan pendekatan saintifik (dalam Faisal, 2014: 71) mengikuti langkah – langkah yang sesuai.
Kelas               : I
Tema               : Diriku
Sub tema         : aku dan teman baru
KD-KD yang ingin dikembangkan antara lain adalah:
PJOK : mempraktikkkan pola gerak dasar menipulatif yang dilandasi konsep gerak dalam berbagai bentuk permainan sederhana atau permainan tradisional.
SBDP : Menggambar ekspresi dengan mengolah garis, warna, dan bentuk berdasarkan hasil pengamatan di lingkungan sekitar.
Bahasa Indonesia : menyampaikan teks cerita diri/ personal tentang keluarga secara mandiri dalam bahasa Indonesia lisan dan tulis yang dapt di isi dengan kosa kata bahsa daerah untuk membantu penyajian.
PPKN: melaksanakan tata tertib di rumah dan di sekolah
Pada buku guru kelas 1 tema “diriku” dan sub tema “aku dan teman baru”, dituliskan beberapa langkah yang dilakukan guru antara lain :
1.      Siswa diajak untuk saling berkenalan melalui sebuah permainan lempar bola dan menjelaskan aturan bermainnya yaitu siswa diminta melingkar ( boleh duduk atau berdiri).
2.      Permainan dimulai dari guru dengan memperkenalkan diri, “selamat pagi, nama saya ibu/ bapak …. Nama panjang… biasa dipanggil ibu/ bapak…..kemudian, melempar bola pada salah satu siswa (hindari pelemparan bola dengan keras).
3.      Siswa yang berhasil menangkap bola harus menyebutkan nama lengkap dan nama panggilan. Kemudian, dia melempar kepada teman lain. Teman yang menangkap lemparan bola, menyebutkan nama lengkap dan nama panggilan.
4.      Demikian seterusnya hingga seluruh siswa memperkenalkan diri.
Sumber: buku guru kelas 1 tema“diriku”dan sub tema “ aku dan teman baru”, kemendikbud, 2013.
Langkah – langkah pembelajaran seperti ini terlihat kurang menggambarkan pendekatan saintifik. Karena itu, kita dapat mengembangkan lebih lanjut langkah – langkah kegiatan pembelajaran ini dengan mengembangkan pendekatan saintifik. Kita menambahkan beberapa kegiatan baru sehingga pendekatan saintifik lebih tampak. Slaah satu caranya adalah sebagai berikut :
Contoh kegiatan pembelajaran menggunakan pendekatan saintifik.
Keterampilan saintifik
Kegiatan pembelajaran oleh siswa dan guru
Mengamati
1.      Beri siswa tiga gambar wajah, yang satu gambar wajah tertawa lebar, satu gambar wajah tersenyum, dan gambar wajah bersedih.
2.      Beritahukan bahwa kita akan berkelompok dan bermain lempar bola.
3.      Buetlah aturan main sebagai berikut :
a.       Melemparnya bagus, dan diterima dengan baik  angkat gambar wajah tertawa lebar.
b.      Melemparnya bagus tapi tidak diterima    angkat gambar wajah tersenyum.
c.       Melemparnya jelek      angkat gambar wajah cemberut.
4.      Selanjutnya bentuk kelompok yang masing – masing beranggotakan sebanyak 6 orang.
5.      Satu orang ditugaskan melempar bola sebanyak 5 kali, dan satu orang lain ditungaskan sebagai penangkap. Satu orang ditugaskan untuk mengamati dan mencatat berapa banyak orang yang mengangkat bendera tertawa lebar, tersenyum , dan cemberut.
Menanya
1.      Gur meminta seluruh siswa berkumpul.
2.      Guru kemudian menanyakan”apakah cara menangkap bola menentukan mudah tidaknya bola itu ditangkap?”.
3.      Setelah siswa besepakat bahwa cara melempar itu mempengaruhi mudah tidaknya bola ditangkap, minta siswa untuk menulis atau mengajukan secar lisan perntanyaan dengan paduan berikut “ manakah dari dua cara melempar berikut (“melempar dengan awalan tangannya berada di belakang kaki” atau “melempar dengan awalan tangannya sejajar dengan kaki” yang ………….”
Menalar
1.      Setelah setelah para siswa melengkapi pertanyaan tersebut seperti berikut: “manakah dari dua cara melempar berikut (“melempar dengan awalan tangannya berada dibelakang kaki” atau “melempar dengan awalan tangannya sejajar denagn kaki” yang LEBIH MUDAN DITANGKAP?”, guru mengajak siswa untuk bernalar tentang apa yang harus dilakukan agar pertanyaan itu dijawab.
2.      Guru mengarahkan agar para siswa sepakat untuk diadakan percobaa dimana dua orang menjadi model (satu orang melempar dan satu orang menangkap), dan yang lain menjadi pengamat untuk memberikan saran bagaimana melempar yang seharusnya terjadi.
Mencoba
1.      Guru menyediakan dua pilihan dugaan”melempar dengan awalan tangan dibelakang kaki lebih mudah ditangkap bolanya” dan “melempar dengan awalan tangan sejajar kaki lebih mudah ditangkap”.
2.      Sambil membaca dan memodelkan, guru meminta siswa memilih mana yang menjadi dugaan mereka.
3.      Guru meminta siswa berada dalam kelompok kecil, di mana satu orang bertugas untuk melempar bola dengan dua gaya tersebut berkali – kali, satu orang bertugas menerima, satu siswa mencatat mana yang mudah ditangkap dan mana yang sulit ditangkap.
4.      Guru meminta siswa untuk menganalisis percobaannya dan mengambil simpulan apakah dugaannya benar atau salah.
5.      Guru kemudian memberikan gambar cara melempar (sudah ada dua cara tetapi masih dalam bentuk buram) dan siswa diminta untuk menebalkan buram yang sesuai dengan simpulan percobaannya, serta menghiasnya dengan warna warni yang menarik.
Mengkomunikasikan
1.      Gur meminta siswa untuk melaporkan percobaan dan simpulan yang diperoleh dengan cara menjelaskan di depan kelas.
2.      Guru mendorong siswa lain megajukan pertanyaan, komentar, kritik atau saran.
3.      Guru memodelkan lagi cara melempar, dan mengakhiri dengan membuat simpulan yang mengkorfirmasi bagaimana cara melempar yang baik diantara dua cara tersebut.
Sumber : panduan teknis pembelajaran tematik terpadu dengan pendekatan saintifik di sekolah dasar kemendikbud, 2013.
Berdasarkan langkah – langkah diatas, pendekatan saintifik tampak lebih jelas. Meskipun focus penggunaan pendekatan saintifiknya adalah untuk pencapaian KD PJOK, akan tetapi, dengan membelajarkan seperti itu , pada saat bersamaan siswa telah berlatih mengikuti aturan main, yang berarti KD PPKN. Siswa juga diminta untuk belajar SBDP dengan melukis/ menebalkan, dan belajar KD bahasa Indonesia dengan menjelaskan karyanya kepada siswa lain. Siswa bercerita tentang teks dirinya, terutama tentang teks hasil kerjanya kepada siswa lain.



BAB III
PENUTUP
3.1    Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari pembahasan di atas adalah :
1.      Pendekatan saintifik merupakan suatu pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran dengan menitikberatkan pada penggunaan metode ilmiah dalam proses pembelajaran.
2.      Pembelajaran berbasis pendekatan ilmiah itu lebih efektif hasilnya dibandingkan dengan pendekatan non-ilmiah. Proses pembelajaran disebut ilmiah jika memiliki kriteria tertentu dan harus terhindar dari nilai-nilai non-ilmiah.
3.      Peristiwa belajar terdiri dari sembilan peristiwa mengajar yang semuanya dibutuhkan untuk semua proses pembelajaran dan hasil pembelajaran di mana peristiwa ini dimaksudkan untuk meningkatkan transfer pengetahuan atau informasi.
4.      Langkah-langkah pendekatan saintifik dalam pembelajaran meliputi mengamati, menanya, mencoba, mengolah, menyajikan, menyimpulkan dan menyajikan serta mengkomunikasikan.
5.      Contoh penerapan pendekatan saintik dalam pembelajaran harus mengikuti langkah-langkah yang sesuai.
3.2    Saran
1.      Sebaiknya seorang pendidik harus mampu memahami dan menerapkan pendekatan saintifik dalam pembelajaran.
2.      Seorang pendidik seharusnya mampu menjadikan pembelajaran berbasis pendekatan ilmiah menjadi pembelajaran yang efektif sehingga tujuan pembelajaran pun akan tercapai.
3.      Seorang pendidik seharusnya memahami semua peristiwa mengajar yang semuanya dibutuhkan untuk meningkatkan transfer pengetahuan atau informasi peserta didik.
4.      Seorang pendidik seharusnya mampu menggunakan setiap langkah pada pendekatan saintifik dengan benar.
5.      Seorang pendidik seharusnya mampu mengaplikasikan contoh penerapan pendekatan saintifik dengan mengikuti langkah-langkah yang sesuai.

2 komentar: